Blog post

Pengaruh Pola Pikir Wanita terhadap Kemajuan Negara

22/04/2022Kontributor Blog by Klob

Ditulis oleh: Umi Riadatul Munasaroh

Jika kamu mendidik seorang laki-laki, sesungguhnya kamu hanya mendidik satu dari jutaan penduduk bumi. Tapi jika kamu mendidik seorang perempuan, maka sesungguhnya engkau sedang mendidik sebuah bangsa” (mantan Presiden Tanzania).

Ungkapan tersebut sangat berseberangan dengan perempuan yang ada di Indonesia. Semua terbukti dengan adanya kisah sejarah perjuangan persamaan hak antara laki-laki dan perempuan. Hj. Rangkoya Rasuna Said merupakan pahlawan nasional yang selalu memperjuangkan adanya persamaan hak antara laki-laki dan perempuan.

Rasuna Said perempuan yang pernah ditangkap dan dipenjara oleh Belanda karena kemampuan dan cara berpikirnya yang kritis. Setelah keluar dari penjara, Rasuna Said melanjutkan pendidikannya di Islamic College pimpinan KH Mochtar Jahja dan Dr Kusuma Atmaja.

Rasuna Said sangatlah memperhatikan kemajuan dan pendidikan kaum perempuan, terbukti pada tahun 1923 Rangkayo Rahman Al-Yunusia, saudara perempuan Zainuddin Labai Al-Yunusi, mendirikan Madrasah “Diniah Putri”

Perjuangan Rasuna Said untuk membawa perubahan dan mengupayakan gerakan emansipasi saat itu, kini menjadi pembahasan yang tak pernah terselesaikan. Gerakan emansipasi menuntut adanya kesetaraan gender. Sosok perempuan yang berprestasi dan juga menyeimbangkan antara  keluarga dan karir menjadi sangat langka ditemukan. 

Perempuan seringkali merasa takut untuk berkarir karena tuntutan perannya sebagai ibu rumah tangga. Data yang ada menunjukkan bahwa perempuan secara konsisten berada pada posisi yang merugikan dibanding laki-laki, Adapun isu utama kesenjangan gender yaitu:

Pertama, pola pernikahan yang merugikan pihak perempuan. Pernikahan dini adalah suatu hal yang lazim dialami perempuan Indonesia. Khususnya di daerah Pedesaan. Laporan Perserikatan Bangsa-Bangsa, pada tahun 2004 memperkirakan 13% dari perempuan Indonesia menikah di umur 15-19 tahun.

Hukum perkawinan di Indonesia menganggap laki-laki sebagai kepala rumah tangga dan pencari nafkah keluarga. Sedangkan, tugas-tugas rumah tangga termasuk membesarkan anak umumnya dilakukan oleh perempuan.

Kedua, kesenjangan gender di dunia pekerjaan. Adanya segmentasi jenis kelamin Angkatan kerja, praktek penerimaan dan promosi karyawan yang bersifat diskriminatif atas dasar gender membuat perempuan terkonsentrasi dalam sejumlah kecil sektor perekonomian, umumnya pada pekerjaan yang berstatus lebih lebih rendah daripada laki-laki. Asumsi masyarakat yang menyatakan bahwa pekerjaan perempuan hanya sekedar tambahan peran dan tambahan penghasilan keluarga juga menjadi salah satu sebab rendahnya tingkat partisipasi tenaga kerja perempuan.

Ketiga, kekerasan fisik. Indonesia telah menetapkan berbagai Undang-Undang untuk melindungi perempuan. Akan tetapi, terdapat beberapa bukti yang menunjang bahwa kekerasan terhadap perempuan adalah umum di Indonesia. Menurut survei demografi dan Kesehatan pada tahun 2003, hampir 25% perempuan yang pernah menikah menyetujui anggapan bahwa suami dibenarkan dalam memukul istrinya karena salah satu alasan berikut: istri berbeda pendapat, istri pergi tanpa memberitahu, istri mengabaikan tugasnya sebagai ibu rumah tangga. 

Perdagangan perempuan dan prostitusi  juga merupakan ancaman serius bagi perempuan,  terutama mereka yang berasal dari keluarga miskin dan kurang berpendidikan. Departemen Kesehatan Indonesia tahun 2004 menemukan bahwa 90% perempuan mengaku telah mengalami beberapa pelecehan seksual di tempat kerja.

Keempat yaitu hak kepemilikan. Hukum perdata di Indonesia menetapkan bahwa perempuan dan laki-laki memiliki hak kepemilikan yang sama. Perempuan di Indonesia memiliki hak hukum untuk akses properti, tanah dan memiliki akses ke peminjaman bank dan kredit, meskipun terkadang masih terdapat diskriminasi di beberapa bagian contohnya: suami berhak memiliki motor pajak pribadi, sedangkan istri harus dimasukkan nomor pajak mereka dalam catatan suami.

Kesetaraan gender dalam dewasa ini harus hati-hati dalam memaknai dan menafsirkannya. Kesetaraan gender bukan serta-merta perempuan disamakan penciptaannya dengan laki-laki. Perjuangan kartini bertujuan perempuan lebih cakap dalam menjalankan kewajibannya. Bukan untuk menjadikan perempuan merupakan saingan laki-laki.

Sesuai haknya perempuan, bukan suatu kesalahan jika berpendidikan tinggi atau berkarir cemerlang. Namun, bukan juga suatu keharusan seorang perempuan menjalani hidupnya dengan tanggung jawab bekerja ataupun melakukan tugas-tugas yang seharusnya dilakukan oleh laki-laki.

Meski anggapan masyarakat pada masa lalu terkait peran perempuan kini sudah banyak berubah namun kenyataannya hal tersebut masih menyisakan pola pikir sempit pada sebagian besar perempuan di seluruh dunia. Perempuan zaman sekarang sudah banyak yang mengenyam pendidikan  formal namun masih banyak juga yang belum mendapat pendidikan. 

Berdasarkan laman Badan Pusat Statistik. BPS susenas RI 2009-2015, persentase penduduk 10 tahun ke atas yang tidak/belum pernah sekolah menurut provinsi, daerah tempat tinggal, dan jenis kelamin, rata-rata menunjukkan bahwa persentase perempuan 2-3 kali lipat lebih banyak dibanding laki-laki. Hal ini berarti bahwa perempuan 2-3 kali lipat lebih banyak yang tidak/belum pernah sekolah. 

Selain itu banyaknya perempuan yang ada di seluruh negara yang tidak/belum pernah sekolah juga berkontribusi terhadap angka buta huruf yang masih terbilang tinggi meskipun sudah mengalami kemajuan. Hal tersebut terjadi karena banyak faktor termasuk faktor ekonomi dan stereotype yang masih tersisa bahwa perempuan dirasa tidak pernah mendapatkan pendidikan formal. Adanya Gender stereotype berkontribusi terhadap tingginya anggapan bahwa perempuan dirasa tidak pernah mengenyam pendidikan formal. 

Gender stereotype sifat kehangatan dan perhatian dianggap berasal dari perempuan sedangkan sifat sifat tegas dan berdaya saing dianggap berasal dari laki-laki. Sehingga sebagian besar masyarakat percaya bahwa tugas perempuan hanyalah mengurus anak dan urusan rumah tangga lainnya tugas laki-laki adalah mencari nafkah dengan berbekal kemampuan otak atau bisa disebut dengan daya saing tadi. Tapi faktanya berdasarkan hasil penelitian, kecerdasan anak berasal dari gen ibu saja dan tidak berasal dari ayah. 

Dalam Konvensi International Labour Organization (ILO) dikatakan bahwa bukan saatnya lagi adanya perbedaan terkait dengan jenis kelamin laki-laki dan perempuan, hal tersebut dikarenakan belum tentu laki-laki akan lebih hebat daripada perempuan baik dalam segi tenaga maupun sumber dayanya. Menyadari potensi besar yang dimiliki oleh perempuan, sudah saatnya perempuan di seluruh dunia memaknai perannya bukan sekedar mengurus anak dan urusan rumah tangga. Banyak hal yang dapat dilakukan. Mengembangkan diri melalui pendidikan formal menjadi keharusan bagi perempuan.

Sekarang sudah banyak perempuan yang mengenyam pendidikan formal, menuntut ilmu sampai ke perguruan tinggi dan lulus menjadi sarjana. Tapi setelah lulus pendidikan tinggi, tidak sedikit pula yang berakhir hanya menjadi ibu rumah tangga dan tidak bisa mengembangkan ilmu yang diperolehnya selama menjalani pendidikan. Menjadi ibu rumah tangga pun sebenarnya bukanlah perkara yang mudah. 

Dimulai dari yang pertama, menciptakan suasana hangat dan tentram, kedua, menjadi panutan positif bagi anak, ketiga mendidik anak dengan sepenuhnya, semuanya ada dalam Jurnal Pengabdian Kepada Masyarakat yang berjudul Program Parenting  Dalam meningkatkan Kualitas Pendidikan Keluarga. Tentu sosok ibu sebagai perempuan yang memiliki peran penting dalam perubahan dunia haruslah berbeda. Oleh karena itu penting pula bagi seorang perempuan untuk berkarir sesuai bidang yang ia minati.  

Berkarir pun bukan menjadi alasan untuk kurang memperhatikan anak mereka. Sehingga melalui hal ini pandangan anak dan sebagian besar orang terhadap perempuan akan berbeda. Mereka akan melihat sosok perempuan sebagai sosok tangguh dan juga hangat yang mampu menjalankan segala peran dengan baik. 

Pemberdayaan perempuan di berbagai bidang seperti ekonomi dan bisnis, politik, hukum, pendidikan dan lain sebagainya menjadi hal yang krusial dalam membangun suatu negara karena anak-anak adalah masa depan suatu negara dan dibalik kesuksesan anak dalam menjadi pribadi yang Tangguh dan berkarakter tentunya tak lepas dari peran seorang perempuan. 

Partisipasi perempuan Indonesia dalam bidang politik, ekonomi, dan pengambilan keputusan serta penguasaan sumber daya ekonomi seperti yang terlihat melalui Indeks Pemberdayaan Gender (IDG) meski trennya selalu naik tetapi jika dilihat dari indikator kompositnya stagnan, demikian yang tertulis dalam Pembangunan Manusia Berbasis Gender, 2016, oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak dan Badan Pusat Statistik. Hal ini menjadi tantangan bagi perempuan untuk meningkatkan partisipasi di bidang-bidang tersebut guna membangun menjadi lebih baik lagi.

Perempuan sudah seharusnya memiliki pandangan yang luas tentang peran pentingnya dalam perubahan dunia yang lebih baik. Stereotypes bahwa perempuan tidak mampu berpartisipasi dan memainkan peran yang besar dalam berbagai bidang kehidupan harus dihilangkan. Oleh karena sudah menjadi kewajiban perempuan untuk mengembangkan diri melalui pendidikan formal maupun nonformal. 

Berbekal dengan meningkatkan wawasan dan keterampilan, perempuan harus menyadari makna mendalam yang ia miliki dalam menjalankan perannya. Karena melalui perempuanlah masa depan bangsa ditentukan. Dan partisipasi perempuan sangat berpengaruh terhadap perkembangan suatu bangsa dan negara. Dengan menyadari peran besar perempuan terhadap anak-anak maka sesungguhnya perempuan sedang dalam membangun bangsa dan negara.

Referensi:

 Mardanas Safwan, Sejarah Pendidikan Daerah Sumatera Barat, 1997, hlm.91.

 Journal of Cross-Cultural Psyhology yang berjudul Women and Men of The past, Present, and Future: Evidences of Dynamic Gender Stereotypes in Ghana.

Ristina Yudhanti, Perempuan dalam Pusaran Hukum, Yogyakarta: Thafa, 2014, hlm:9

 

Berikan Komentar

Your email address will not be published.