Blog post

Rampungkan Misoginis-Patriarki di Dunia Industri!

12/04/2022Kontributor Blog by Klob

Ditulis oleh: Risalah Damar Ratri

Membahas mengenai persamaan gender, sampai saat ini menjadi topik yang akan selalu hangat dan terus mengalir. Walaupun gerakan feminisme telah hadir sejak akhir abad 18, permasalahan terhadap hak-hak perempuan yang dilupakan masih menjadi hal yang terus diperjuangkan. Adanya penyematan yang dilakukan masyarakat kepada kaum perempuan tentang kedudukan status sosialnya yang berada di nomor dua setelah lelaki, menjadikan mereka memiliki pergerakan yang terbatas.

Pada segala aspek, perempuan seperti memiliki mata-mata, setiap kesalahan akan dianggap sebagai sebuah dosa yang tak diampuni. Salah satunya pada bidang pekerjaan, di zaman yang memang antara laki-laki dan perempuan memiliki hak yang sama dalam menempuh pendidikan, tetapi bukan berarti persamaan gender telah berhasil mengembalikan hak perempuan. Karena setelahnya, pada dunia pekerjaan, praktik misoginis dan patriarki masih kerap mereka dapatkan. 

Praktik Misoginis-Patriarki di Dunia Industri

Bentuk-bentuk praktik misoginis-patriarki berupa adanya ketidaksetaraan gaji antara laki-laki dan perempuan, hal ini dapat dilihat dari Badan Pusat Statistik antara tahun 2016-2018 di mana gaji perempuan memiliki nilai yang lebih rendah dari laki-laki. Hal ini menjadi isu yang terus dipertanyakan, walaupun banyak jawaban yang mengatakan perempuan kurang memiliki kontribusi di dalamnya. Maka hubungannya dengan alasan tersebut dapat kita lihat bagaimana anggapan masyarakat terhadap perempuan yang dinilai lemah yang lebih baik bekerja di dapur ketimbang merintis karir, juga promosi yang mereka dapatkan sangat jarang, para atasan lebih mempercayakan jabatan tinggi kepada para lelaki. 

Keresahan perempuan terhadap ketidakadilan yang didapatkannya, khususnya di tempat kerja, tentu akan memiliki dampak yang tidak baik pada diri mereka sendiri. Padahal dalam hal kerja-mengerjakan, perempuan juga sama pintarnya dengan lelaki. Mereka memiliki kemampuan untuk mengolah pekerjaan menjadi sesuatu yang menguntungkan. Para perempuan dapat bertanggung jawab atas pekerjaan  mereka dan seharusnya masyarakat menyetujui itu. Hanya karena mereka nantinya akan menjadi ibu rumah tangga dan mengandung anak bukan, berarti para perempuan akan lepas tangan begitu saja.

Seperti pada kutipan novel Kim Ji-yeong, seorang dokter mengatakan bahwa pekerjaan perempuan hanyalah menimbulkan banyak kesulitan apabila mereka tidak dapat mengurus masalah pengasuhan anak (hal.175). Ya memang itu merupakan novel terjemahan dari Korea Selatan, tetapi yang menjadi perhatiannya adalah bahwa antara perempuan Indonesia dan Korea yang sama-sama bagian dari asia mengalami permasalahan yang sama, yaitu misoginis-patriarki.

Perasaan benci dan diskriminasi terhadap perempuan yang berlebihan menjadi hal lumrah yang dibudayakan oleh masyarakat sekitar. Jika seorang perempuan bekerja dan memiliki jabatan tinggi, mereka dianggap tidak sopan dengan lelaki dan para lelaki akan menyetujui stigma itu. Namun, apabila tidak bekerja dan hanya menjadi seseorang yang mengurus rumah, para perempuan akan dipenjara di rumah dan apabila keluar rumah mereka akan dianggap sebagai perempuan tidak tahu diri karena menghambur-hamburkan uang suaminya. 

Kesetaraan gender di dunia pekerjaan seharusnya menjadi hal yang diperhatikan. Selain kesenjangan upah, jarangnya mendapatkan promosi, tekanan karena memiliki jabatan yang tinggi, hal yang paling menyayat hati adalah pelecehan seksual terhadap pekerja perempuan yang dilakukan oleh lelaki di lingkungan kerja. Seperti yang dilakukan oleh Bos perusahaan Jakarta Utara yang memanfaatkan keluguan karyawannya pada situasi sepi dan memulai aksi tidak terpujinya (CNN Indonesia, 4/3).  

Posisi perempuan dari era ke era selalu berada di tengah-tengah batas antara laki-laki dan masyarakat, perempuan dituntut sempurna sesuai versi mereka. Sedangkan dalam teori feminisme kultural yang memfokuskan diri pada eksplorasi mengenai nilai-nilai yang dianut masyarakat, yakni bagaimana mereka menyadari bahwa mereka menempatkan perempuan pada tempat berbeda dari laki-laki. Teori ini percaya bahwa dengan menunjukan potensi yang dimiliki perempuan dalam masyarakat akan meningkatkan kekuatan yang lebih sehat dibandingkan jika masyarakat itu hanya berfokus pada budaya yang bersifat androsentris. 

Baca artikel menarik lainnya hanya di Blog by Klob!

Berikan Komentar

Your email address will not be published.