Blog post

#BreaktheBias: Laksamana Malahayati

21/05/2022Kontributor Blog by Klob

Ditulis oleh: Luthfiana Dwi Rakhmawati
(Klik untuk melihat Profil Klob)

Setiap tanggal 8 Maret tiap tahunnya diperingati sebagai hari Perempuan Internasional atau Internasional Women’s day atau IWD. Hari untuk memperingati sekaligus merayakan pencapain perempuan baik dalam bidang pendidikan, sosial, ekonomi, budaya maupun politik. Memang terdapat banyak pencapaian perempuan yang patut untuk dirayakan namun, masih banyak pula yang harus diperjuangkan. Tema yang diusung setiap tahunnya berbeda dan untuk tahun ini dilihat dari laman website https://www.internationalwomensday.com adalah #BreakTheBias. 

Mengutip dari https://lordslibrary.parliament.uk, The World Economic Forum (WEF) melaporkan bahwa pada tahun 2021, gender gap atau kesenjangan gender antara perempuan dan laki-laki masih terjadi di berbagai bidang. Hal ini dapat dilihat dari bagaimana mereka berpartisipasi, mendapat kesempatan dan hak. Seperti dalam bidang pekerjaan misalnya, dengan jenis pekerjaan yang sama, perempuan mendapat gaji yang lebih sedikit dari laki-laki. Kesenjangan ini diperparah dengan adanya pandemik Covid-19 di mana perempuan mendapat kerugian yang lebih besar dilihat dari jumlah penggangguran yang lebih banyak.

Kesenjangan yang terjadi antara perempuan dan laki-laki yang menjadi semakin lebar ini, salah satunya disebabkan oleh bias atau stereotip yang selama ini dilekatkan pada perempuan yang seolah menjadi kebenaran bahwa perempuan memang seperti bias yang dituduhkan. Bias terhadap perempuan nyatanya masih ada dalam lingkungan kerja, sekolah atau perguruan tinggi, komunitas bahkan keluarga menjadi fakta bahwa bias adalah penghalang perempuan untuk maju.

Berbicara mengenai bias atau stereotip, mari terlebih dahulu kita menjelajah catatan sejarah ke sekitar 400 tahun yang lalu. Masa di mana pernah hidup seorang perempuan dari Aceh yang diakui dunia sebagai Laksamana perempuan pertama dunia, Laksamana Keumalahayati atau lebih familiar dengan nama Malahayati. Siapakah Laksamana Malahayati? Namanya tentu kalah tenar dari pahlawan wanita nasional lain yang terlebih dahulu membumi seperti R.A. Kartini, Cut Nyak Dien atau Dewi Sartika, dll. Bahkan penyematan gelar Pahlawan Nasional baru dikukuhkan pada November, 2017 lalu oleh Presiden Jokowi. 

Lahir pada tahun 1550 pada masa Sultan Alauddin Riayat Syah al-Qahhar, Malahayati merupakan putri dari Laksamana Mahmud Syah. Kakeknya bernama Muhammad Said Syah, keturunan dari Sultan pertama sekaligus pendiri Kesultanan  Aceh Darussalam, Sultan Ibrahim Ali Mughayat Syah. Dengan status kebangsawanannya ini, Mahayati memperoleh kesempatan untuk mengenyam pendidikan di akademi militer Ma’had Baitul Maqdis yang memiliki akademi laut dan akademi darat. Ingin seperti ayah dan kakeknya yang merupakan laksamana angkatan laut kesultanan Aceh, Malahayati memilih pendidikan militer laut. Di akademi ini pula, Malahayati bertemu suaminya, Tuanku Mahmuddin bin Said Al Latief. 

Pada saat itu, sebagian semenanjung Malaka telah dikuasai Portugis dan mereka banyak mengambil keuntungan dari hasil bumi atas wilayah dudukannya. Tahun 1575, Ayah Keumala gugur dalam pertempuran yang dikomandoinya melawan Portugis di Pangkalan Militer Portugis La Formosa Malaka.Kehilangan orang yang disayangi dengan cara yang sama harus kembali dialami Keumalahayati. Suaminya Laksamana Mahmuddin bin Said Al Latief yang pada saat itu menjabat sebagai Panglima Armada Selat Malaka, harus gugur dalam pertempuran melawan Portugis di Teluk Haru Selat Malaka. 

Karena kemampuannya, Malahayatipun diangkat menjadi Panglima Armada V Selat Malaka dengan gelar Laksamana Muda di mana sebelumnya menjabat sebagai Komandan Protokol Istana. Dukanya yang mendalam karena kehilangan suaminya, membuat Laksamana Malahayati paham perasaan yang juga dirasakan ribuan janda lainnya dengan alasan yang sama. Hal inilah yang menjadi salah satu alasan Laksamana Malahayati memaksimalkan posisinya untuk membentuk armada kapal perang khusus yang kesemuanya berisi wanita janda dari para prajurit yang telah gugur di medan perang setelah mendapat persetujuan dari Sultan Alaiddin Riayat Syah al-Mukammil. Armada tersebut bernama Inong Balee atau wanita janda. Inong yang berarti wanita, dan Balee yang berarti janda. 

Armada Inong Balee terdiri dari 2000-3000 pasukan janda dengan sekitar 100 kapal perang kesultanan Aceh yang dilatih langsung oleh Malahayati. Membangun pangkalan militer di Teluk Lamreh Krueng Jaya dengan benteng setinggi 100 meter dari permukaan laut yang menghadap langsung ke laut dilengkapi meriam-meriam  berat yang siap tempur. Meskipun Inong Balee terdiri dari perempuan dan janda, namun mereka adalah pasuka berani mati yang tidak dapat disangkal sering membuat kalang kabut dalam pertempurannya baik melawan pasukan Portugis maupun Belanda. 

Salah satu pertempuran Laksamana Malahayati yang paling terkenal adalah saat melawan Cornelis de Houtman dan pasukannya. Cornelis de Houtman, pimpinan pasukan penjajah Belanda pertama yang menginjakkan kaki di Indonesia harus menyerahkan nyawanya di tangan Laksamana Malahayati pada 11 September 1599 dalam pertempuran satu lawan satu di atas dek kapal Cournelis de Houtman sendiri. Laksamana Malahayati berhasil mengalahkan Cournelis de Houtman dengan rencong di tangannya.  Pertempuran yang tengah terjadi dengan pasukan Belandapun terhenti, adik Cournelis, Frederick de Houtman ditangkap dan dipenjara. Sisa pasukan Belanda yang tidak tertangkap berhasil melarikan diri. Pertikaian ini di akhiri dengan surat permintaan maaf kerajaan Belanda kepada kesultanan Aceh dan memberikan ganti rugi sebesar 50.000 gulden sebagai kompensasi yang dibawa oleh utusan mereka, Admiral Laurens Bicker dan Gerard de Roy.

Di lain waktu, pada masa kekuasaan Sultan Mahmud Syah, Laksamana Malahayati yang pada saat itu sedang berada dalam kondisi sakit bersama pasukannya berhasil mengalahkan dan memukul mundur pasukan Portugis yang telah tiba di perairan Banda Aceh di mana maksud kedatangan mereka adalah ingin merebut secara langsung wilayah Aceh yang pada saat itu sedang menghadapi konflik internal.

Sikap kepahlawanan dalam diri Laksamana Malahayati tidak hanya ada pada saat menghadapi musuh dari negeri penjajah, namun pula dari bumi Aceh sendiri. Bukan hanya fisiknya yang harus selalu siaga, namun pula emosi dan batinnya harus selalu terjaga ketika putri semata wayangnya diculik oleh petinggi kerajaan sebagai bagian dari intrik keluarga kerajaan atau ketika orang-orang kaya di Aceh bersekutu dengan Portugis demi keuntungan pribadi. Bahkan di saat terjadi kudeta di dalam istana dengan terbunuhnya Sultan yang sedang berkuasa pada saat itu, Sultan Alaudin Mansyur Syah oleh Panglima Raja Buyung putra dari Gubernur Indrapura yang bernama Munawar Syah.

Fakta bahwa Sultan Mansur Syah bukanlah keturunan dari Sultan Ali Mughayat Syah melainkan Sultan Perak menjadi alasan Panglima Raja Buyung melakukan kudeta.  Meskipun Malahayati sendiri adalah keturunan dari  Sultan Ali Mughayat Syah, namun Malahayati menolak mentah-mentah saat diajak kerja sama untuk mengkudeta Sultan Mansur Syah. Laksamana Malahayati telah memilih untuk selalu setia kepada rajanya dan berjuang untuk membela negaranya. Selain itu, kenyataan bahwa Sultan Mansur Syah telah berjuang untuk memakmurkan rakyat Aceh dan apabila ia disingkirkan secara paksa, maka dapat dipastikan Kerajaan Perak dan Johor akan memisahkan diri dari Kesultanan Aceh menambah alasan rasional Laksamana Malahayati menolak rencana Panglima Raja Buyung.

Saat kudeta dilakukan, Malayati ditangkap dan ditahan karena menolak bergabung. Beberapa tahun kemudian, Malahayati yang berhasil lolos kemudian menggabungkan beberapa pasukan bersama Laksamana yang lain untuk melawan Panglima Raja Buyung yang mengangkat dirinya menjadi Sultan. Sultan Buyungpun menyerah  dan digantikan oleh penerus yang sesuai dengan penetapan Majelis Kerajaan.

Sebagai Laksamana yang mempertahankan kedaulatan Aceh dengan terjun langsung di medan pertempuran, Laksamana Malahayatipun pernah menjabat sebagai Diplomat, Komandan Protokol Istana Darud Donya, serta Kepala Badan Rahasia Kerajaan yang mendapatkan julukan sebagai Guardian of The Acheh Kingdom. Pada saat menjabat sebagai Komandan Protokol Istana, tugas Malahayati tidak hanya mengatur seluruh kegiatan Baginda Sultan, namun pula setiap tamu asing yang ingin bertemu Baginda Sultan harus melalui pemeriksaannya terlebih dahulu. Hal ini berlaku terhadap tamu asing baik dari luar istana, maupun dari lingkungan keluarga Sultan sendiri. Jabatan ini diperoleh selain karena Malahayati adalah salah satu dari sedikit orang yang dipercaya Sultan, sebagai lulusan terbaik akademi militer Ma’had Baitul Maqdis, Malahayati memiliki pandangan dan wawasan yang luas. 

Reputasi kehebatan Malahayati tidak hanya diakui kawan, namun pula membuat lawan seperti Belanda, Portugis, Inggris, Arab, China dan India menjadi segan. Hal ini pula yang membuat Ratu Elizabeth, penguasa Kerajaan Inggris memilih untuk bernegosiasi guna membuka jalur perdagangan Kerajaan Inggris dengan mengirim surat diplomatik yang dibawa oleh James Lancaster untuk Kesultanan Aceh daripada melakukan serangan militer. 

Kematian menghentikan perjuangan Laksamana Malahayati pada sekitar tahun 1606. Ada dua versi mengenai bagaimana Malahayati meninggal. Meninggal secara alami atau gugur pada saat melawan Portugis di Selat Malaka seperti halnya yang terjadi pada ayah dan suaminya. Jasad Laksamana Malahayati kemudian dikebumikan di kaki bukit Krueng Raya, Lamreh, Aceh Besar.

Selain diabadikan dalam lagu berjudul “Malahayati” yang dinyanyikan oleh Iwan Fals, nama besarnya juga diabadikan sebagai nama jalan di berbagai wilayah di Indonesia, Pelabuhan Malahayati, KRI Malahayati (Salah satu kapal perang milik TNI Angkatan Laut), Universitas Malahayati sampai menjadi nama divisi wanita Ormas Nasional Demokrat, yaitu Garda Wanita Malahayati.

Seperti Kartini, Malahayati memang terlahir dari keluarga bangsawan dengan kemapanan status sosial dan finansial atau sekarang kita menyebutnya dengan priviledge. Kemudahan karena priviledge pula yang memberi Malahayati kesempatan untuk menuntut ilmu di akademi militer Ma’had Baitul Maqdis. Para lulusan akademi ini akan menggantikan kedudukan orang tuanya baik sebagai penerus kebangsawanan, petinggi di Kerajaan maupun sebagai perwira yang siap membela bumi Aceh. 

Jika berbicara mengenai priviledge, memang Malahayati memilikinya. Namun, segala keputusan yang diambil saat dewasa di mana salah satunya adalah masuk ke akademi militer angkatan Laut, semuanya adalah keputusan Malahayati sendiri yang mana pada waktu itu, tentu masih sangat tabu bagi seorang perempuan. Malahayati menjalankan perannya sebagai perempuan di dunia yang pada saat itu didominasi oleh laki-laki seperti; mengambil keputusan, tampil dipublik, bernegosiasi, bahkan sampai bertempur dan memimpin tanpa sedikitpun mengurangi nilai kebermanfaatan, kemampuan serta keberhasilan sebagai seorang manusia yang memiliki akal dan pikiran.  

Laksamana Malahayati, Laksamana perempuan pertama yang diakui dunia telah berhasil mematahkan stereotip-stereotip mengenai perempuan dengan semua peran yang telah dijalankan di mana pada masa itu, stereotip mengenai perempuan tentu lebih kuat daripada sekarang. Bahkan dunia Barat yang dilansir dari https://www.rmg.co.uk, baru mengijinkan perempuan secara resmi untuk bertugas di kapal perang pada bulan Oktober 1990an selama Perang Teluk.

Di masa lalu, dunia pelayaran Barat tidak memperbolehkan wanita ikut serta dalam pelayaran apapun baik untuk tujuan komersil seperti perdagangan ataupun aktivitas perang karena memiliki mitos bahwa membawa perempuan sama saja dengan membawa kesialan. Kehadiran perempuan akan membuat kemarahan Dewa Air yang dapat memunculkan badai ataupun cuara yang buruk. Jika sejarah pelayaran dunia mencatat kemunculan beberapa perempuan seperti Cheng I Sao dan Anne Bonny, mereka muncul sebagai perompak atau bajak laut. Asumsi lain adalah bahwa kehadiran perempuan hanya akan mengalihkan perhatian para pelaut laki-laki. 

Malahayati memang tidak pernah berteriak mengenai emansipasi wanita, tetapi apa yang dia lakukan bersama pasukan Inong Baleenya, lebih dari cukup untuk membuktikan bahwa perempuan dengan statusnya, kondisi biologis dan fisiknya nyatanya tidak mampu mempengaruhi dan menutupi kekuatan serta kemampuan yang dimiliki perempuan sebagai manusia utuh seperti halnya seorang pria. Malahayati memperlihatkan tanpa meninggalkan kodratnya sebagai perempuan asal jika diberi kesempatan untuk mengambil keputusan, menerima pendidikan dan ikut serta pada apa yang menjadi panggilan hatinya, mampu membuktikan bahwa perempuan seperti halnya laki-laki, memiliki kemungkinan yang sama untuk berhasil. 

Jadi, masihkah meragukan perempuan?

 

Source

https://nationalgeographic.grid.id

https://imz.or.id 

https://www.internationalwomensday.com 

https://www.history.com/news/5-notorious-female-pirates 

https://tengkuputeh.com 

https://seasia.co 

https://academiamu.com

Berikan Komentar

Your email address will not be published.