Blog post

Mencari Jalan Paling Merdeka dalam Bekerja

26/08/2022Kontributor Blog by Klob

Ditulis oleh: Sekar Aprilia Maharani
(Klik untuk melihat Profil Klob)

Sejak lulus kuliah dua tahun lalu, saya mulai memasuki fase kehidupan yang baru. Dimulai dengan menjadi jobseeker, melalui proses internship, hingga sekarang mulai naik tingkat sebagai full time employees. Lika-liku dunia kerja ternyata tidak sesimple yang dibayangkan, harus bisa survive dan merawat kewarasan setiap harinya. Apalagi di tengah berbagai rasa jenuh yang lewat dan gempuran keadaan, rasanya tak pernah ada ruang bekerja yang benar-benar sesuai sama standar idealitas. Ada saja masalahnya, entah itu sistem, rekan kerja, gaji, atau jam kerja yang kurang masuk akal. Berbagai problem itulah yang pada akhirnya membawa saya menuliskan keresahan ini. Resah yang barangkali terasa relate buat sebagian besar orang dan semoga membuat kamu tidak merasa sendirian. 

Tahun pertama setelah saya lulus S-1 euforia bekerja begitu tinggi sekali, semua teman berlomba untuk cepat diterima kerja, punya aktivitas baru, dan gaji agar bisa segera beli apa yang dimau. Update pekerjaan di LinkedIn seperti simbolisasi seorang sarjana sudah sukses, sementara yang masih jadi pengangguran harus siap menyaksikan profilnya berdebu sehabis wisuda. Meskipun demikian, pressurenya masih belum tinggi sih, pertanyaan dari beberapa kerabat dan tetangga juga tidak terlalu mengganggu sebab kita masih punya stok jawaban, “Masih menunggu panggilan interview” dan mereka pun mengerti karena baru satu bulan ke luar dari kampus.

Sebulan, dua bulan pertama akan terasa aman dan baik-baik saja. Optimisme untuk mendaftar sana-sini masih menggebu-gebu, hipotesa pribadi merasa pasti lulus karena kalau membaca kriteria yang tertera kita sudah cukup mampu menjadi kandidat utama. Saking percaya dirinya, ditolak untuk pertama kalinya lebih sakit dari sekedar diputusin pacar. Beruntungnya lebih cepat sembuh dan move on daftar kerja lagi karena beranggapan gagal di langkah pertama memang keharusan. Apalagi buat kita yang benar-benar baru ke luar dari ruang pendidikan, mesti adaptasi dulu sama fase baru.

Satu, dua, tiga kali mengalami penolakan mungkin tidak langsung mengguncang mental, masih bisa ngopi cantik dan haha-hihi selama duit di dompet masih cukup.  Tapi kalau sepuluh hingga dua puluh kali gagal, saya yakin kita langsung terkena serangan panick attack. Mendadak merasa tidak percaya diri sama value sendiri dan mengalami pesimis level akut. Lalu ketika muncul motivasi dari para sepuh yang sudah berpengalaman, kita baru bergegas bangkit untuk evaluasi CV, teknik wawancara, dan sasaran pekerjaan yang dilamar. Di titik seperti itu pandangan kita terhadap bekerja jadi berubah. Kalau dulu prinsipnya harus bekerja sesuai jurusan dan passion, kini diganti menjadi yang penting kerja dulu. Biar linkedin kita tidak dikira kehilangan pemiliknya dan yang lebih utama sih punya jawaban ketika ditanya “sekarang sibuk ngapain”. 

Ah, begitulah lika-liku rasanya jadi freshgraduate yang tidak siap menantang arus. 

Berbeda keadaannya dengan hari ini. Beberapa kabar belakangan yang lebih akrab saya terima adalah teman-teman yang memilih resign dari pekerjaannya. Mulai dari alasan gaji yang tidak mengalami kenaikan, rekan kerja menyebalkan, sampai alasan yang capable seperti merasa stuck karena selama ini disitu-situ saja sementara diri butuh upgrade kapasitas. Katanya, mereka butuh eksplorasi kompetensi diri dengan pindah ke tempat bekerja lain untuk merasa diterima dan untuk merasa cukup meraih benefit. Lainnya ada juga yang sebetulnya sudah sangat ingin resign tapi belum punya keberanian yang banyak. “Nantilah, tunggu uang tabungan aman, tunggu cicilan beres, dan tunggu punya kerjaan baru yang lebih menjanjikan.” 

Ternyata bekerja bukan hanya perihal yang penting punya aktivitas dan dapat upah saja, lebih jauh dari itu bekerja adalah bagian dari perjalanan kehidupan yang mestinya diisi dengan semangat menyambut hari dan nggak alergi sama hari senin. 

Hal yang paling menggelitik adalah saya dan  sebagian besar teman terus mencari kerja dan bermimpi menjadi karyawan, dibandingkan mau melangkah ke dunia bisnis. Kita sadar bahwa kita punya standar bekerja yang ukurannya tidak pernah kita dapatkan selama bekerja bersama orang lain. Kita menggerutu dengan gaji yang hanya segitu, sistem yang terlalu kaku, atau suasana kerja yang penuh penghakiman. Tapi kita sendiri memilih untuk bertahan dengan keluhan-keluhan yang seolah nantinya bisa disembuhkan dengan hanya healing ke pantai. Padahal sebetulnya itu tidak memperbaiki apa-apa.  Kita hanya menumpuk kegelisahan menahun. 

Bagi saya pada akhirnya yang paling ideal dan bebas dengan aturan yang kita buat sendiri hanyalah berbisnis. Selama kita masih jadi karyawan, kita tidak punya hak secara ekslusif untuk mengubah ekosistem. Tapi ketika kamu mengasosiasikan dirimu terjun ke dalam usaha yang dibangun sendiri sekecil apapun bentuknya, maka kamu berhak mendapatkan kemerdekaan secara paripurna untuk mengatur bagaimana duniamu bekerja. 

Semua kembali lagi pada perspektif masing-masing. Kalau perusahaanmu menyediakan kesempurnaan sistem sebagaimana yang kamu ingin, maka bersyukurlah bahwa kemerdekaan bisa direnggut dengan mudah. Namun, kalau kamu percaya berbisnis adalah jalan merdeka dalam bekerja, cobalah dengan berani sembari menakar risiko di depan.

Berikan Komentar

Your email address will not be published.