
Tantangan Menjadi Seorang Psikolog Klinis
Halo Klobbers!
Saat ini, isu kesehatan mental nampaknya menjadi salah satu hal yang cukup banyak dibicarakan, terlebih lagi di kalangan anak muda, terutama generasi Z. Mereka identik dekat dengan internet dan media sosial serta lebih terbuka saat berbicara tentang depresi dan kesehatan mental. Selain itu, mereka juga ingin mendapatkan perawatan agar memiliki kesehatan mental yang baik sehingga kualitas hidup lebih baik.
Bagaimanapun juga, selama manusia masih ada, maka isu kesehatan mental akan selalu ada. Demikian pula dengan profesi yang terkait, salah satunya ialah psikolog klinis. Psikolog klinis berperan untuk memeriksa, mendiagnosis, serta merawat klien yang memiliki masalah kesehatan mental dan tekanan psikologis melalui psikoterapi dan konseling. Nah, apakah ada Klobbers yang ingin berprofesi sebagai psikolog klinis?
Menjadi psikolog klinis, kamu memiliki kesempatan untuk bisa menolong orang lain yang membutuhkan bantuan terkait masalah kesehatan mentalnya. Mungkin terdengar menyenangkan karena bisa memberikan bantuan kepada orang lain, tapi menjadi psikolog juga memiliki tantangannya tersendiri. Yuk, cari tahu beberapa tantangan menjadi seorang psikolog klinis!
Bisa Mengakibatkan Emotionally Draining
Berhadapan dengan pasien atau klien setiap harinya dalam menangani masalah sulit yang mereka hadapi bisa membuat kamu merasa lelah secara emosional atau emotionally draining. Mengapa demikian? Pada dasarnya, setiap individu memiliki masalahnya masing-masing. Bahkan terkadang, masalah yang muncul dapat membuat kita merasa cukup kesulitan sehingga harus memberikan waktu untuk bisa menyelesaikannya tanpa ingin diganggu oleh masalah atau orang lain.
Sementara itu, seorang psikolog bertugas untuk mendengarkan hingga merawat klien dengan masalah kesehatan mental serta tekanan psikologis yang dihadapinya. Seorang psikolog harus belajar bagaimana membantu klien mereka menemukan metode yang efektif dan produktif untuk menghadapi perjuangan mereka tanpa harus menanggungnya sendiri. Oleh karena itu, menjadi psikolog yang sukses harus mampu memisahkan antara kehidupan kerja dan kehidupan pribadi mereka, serta bisa menerapkan teknik manajemen stres yang efektif dalam menjalani profesinya.
Berisiko Mengalami Secondary Traumatic Stress
Melansir dari The National Child Traumatic Stress Network, secondary traumatic stress adalah tekanan emosional yang dihasilkan saat mendengarkan tentang pengalaman traumatis orang lain. Rasa empati yang muncul saat mendengarkan cerita traumatis klien memiliki risiko tersendiri, yaitu dapat memengaruhi kondisi emosional individu. Secara berangsur, kamu bisa ikut merasakan amarah, sedih, atau emosi negatif lainnya akibat mendengar pengalaman traumatis yang dialami mereka. Hal ini nantinya dapat membahayakan profesionalitas dan juga mengurangi kualitas hidup kamu.
Munculnya Emosi Negatif Saat Menghadapi Kasus Klien
Saat klien dan psikolog berinteraksi, salah satu risiko yang dihadapi ialah berpotensi terjadinya countertransference, yaitu kondisi ketika psikolog merasakan emosi negatif atau bercampurnya masalah pribadi yang dimiliki psikolog dengan kasus klien. Sebagai contoh, kamu mungkin memiliki trauma atau pengalaman buruk tertentu di masa lalu. Kemudian, kamu bertemu klien dengan cerita atau masalah yang mengingatkan kamu terhadap pengalaman atau peristiwa tersebut. Nah, hal ini bisa menjadi pemicu munculnya emosi negatif yang nantinya dapat memengaruhi kinerja atau profesionalitas kamu.
Jika tidak ditangani dengan baik, emosi negatif atau stres yang dirasakan bisa menumpuk dan akhirnya menjadi burnout, yaitu kondisi kelelahan fisik, mental, dan emosional akibat stres berkepanjangan. Akibatnya, kondisi ini bisa menguras energi serta menurunkan motivasi dalam bekerja. Semakin lama, produktivitas kerja bisa semakin menurun dan mungkin saja dapat membuat kamu merasa tidak mampu menghasilkan apa pun.
Kesulitan dalam Mengembangkan Tempat Praktik Sendiri
Selain praktik di fasilitas pelayanan kesehatan seperti puskesmas atau rumah sakit, psikolog klinis dapat menjalankan praktik keprofesiannya secara mandiri. Jika memilih untuk membuka dan menjalankan tempat praktik sendiri, ada beberapa hal yang perlu disiapkan. Beberapa diantaranya yaitu mencari kantor, mengurus dan melengkapi dokumen administrasi yang diperlukan, hingga mencari klien. Dengan demikian, ada lebih banyak hal yang perlu disiapkan apabila kamu memilih untuk mendirikan tempat praktik sendiri. Terlebih lagi jika kamu belum memiliki jam terbang yang lumayan tinggi, memerlukan waktu dan usaha lebih agar nama kamu dapat dikenal lebih banyak orang sehingga bisa mendatangkan lebih banyak klien. Hal ini diperlukan agar tempat praktik yang kamu buka dapat berjalan dengan baik dan mampu bertahan dalam jangka panjang.
–
Setiap pekerjaan pasti memiliki risikonya tersendiri, termasuk menjadi psikolog klinis. Meskipun seorang psikolog klinis berperan untuk membantu memeriksa hingga merawat individu dengan masalah kesehatan mental, tapi psikolog juga manusia biasa. Mereka memiliki batasan, masalah tersendiri, dan berisiko mengalami masalah kesehatan mental apabila tidak dapat menerapkan manajemen stres yang efektif. Mereka juga tetap membutuhkan dukungan, bahkan dapat dikatakan bahwa seorang psikolog pun juga membutuhkan psikolog. Oleh karena itu, jika kamu ingin menjadi seorang psikolog klinis, maka perlu sekali mengetahui apa saja tantangan yang akan dihadapi sehingga nanti dapat lebih siap untuk menjalaninya. Good luck, Klobbers!