Solusi Pendanaan UMKM: Perbankan & Fintech
Kolaborasi Perbankan dan Fintech Ciptakan Solusi Pendanaan UMKM
Hambatan dalam hal pendanaan merupakan salah satu masalah krusial yang menghambat produktivitas UMKM di Indonesia. Berdasarkan riset yang dilakukan Daya Qarsa, ditemukan bahwa setidaknya 28% UMKM di Indonesia merasakan rumitnya pengajuan pinjaman dan 25% lainnya merasakan kesulitan ketika melaksanakan administrasi. Hal ini juga sejalan dengan data yang ditemukan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yaitu, kesenjangan keuangan di Indonesia pada tahun 2020 mencapai 165 miliar dolar AS yang sebagian besar disebabkan oleh fakta bahwa sekitar 70% UMKM belum mendapatkan permodalan dari lembaga bank maupun lembaga non bank. Hal ini tentu sangat disayangkan karena jumlah UMKM di Indonesia mendominasi jenis usaha di Indonesia.
Dalam acara webinar kolaborasi antara Daya Qarsa dan KADIN (Kamar Dagang dan Industri) Indonesia yang bertajuk “Unleashing Exponential Growth of Indonesia Through Digitalization of SME Financing” pada 27 Oktober 2021 lalu, disebutkan bahwa terdapat tiga hal pokok yang menjadi ekspektasi pelaku UMKM dalam melakukan peminjaman dana yaitu, jeda yang lebih lama untuk waktu pengembalian dana, kemudahan dalam mendapatkan kredit untuk perorangan atau untuk usahanya, dan bebas biaya ketika mengalami keterlambatan pengembalian dana.
Bagaimana upaya lembaga keuangan dalam memenuhi ekspektasi UMKM?
Lembaga perbankan maupun non-perbankan menciptakan inovasi melalui digitalisasi untuk memberikan kemudahan pendanaan bagi para UMKM. Dengan pemanfaatan digitalisasi, masalah pendanaan UMKM di Indonesia dipercaya dapat diminimalisasi. Inovasi dilakukan terhadap produk-produk keuangan agar dapat lebih mudah diakses dan lebih sederhana dalam hal administrasi.
Sejak beberapa tahun terakhir, transaksi digital telah menjadi pilihan masyarakat. Hal ini kemudian menjadi semakin pesat pertumbuhannya setelah pandemi Covid-19 melanda. Lembaga keuangan seperti perbankan pun terdampak karena mobilitas masyarakat yang terbatas. Sebelumnya, perbankan di Indonesia memiliki sistem yang disebut sebagai closed banking. Melalui sistem closed banking, kantor cabang menjadi pusat dari segala macam layanan bank dan layanan tersebut pun harus dilaksanakan di kantor cabang. Sistem tersebut dinilai kurang praktis untuk kebutuhan nasabah sekarang ini sehingga bank mulai bertransformasi secara digital. Transformasi digital perbankan pun sudah dicanangkan oleh Bank Indonesia sejak Mei tahun 2019 lalu.
Pada tahun yang sama, perbankan kemudian beradaptasi dan mulai menggunakan sistem open banking – antarmuka pemrograman aplikasi atau biasa disebut Application Programming Interface (API) secara pesat. Dengan sistem ini, proses transaksi dengan nasabah menjadi lebih mudah, baik untuk transaksi finansial maupun non finansial. Sistem open banking juga memungkinkan bank memiliki produk perbankan yang lebih banyak dan melakukan kolaborasi dan kemitraan lintas industri seperti fintech. Selain itu, ekosistem bank pun dapat berjalan lebih cepat daripada sebelumnya untuk melayani kebutuhan masyarakat atau nasabah.
Digitalisasi perbankan turut didorong karena adanya perubahan kebutuhan dan gaya hidup masyarakat serta hambatan tertentu, antara lain:
1. Perubahan gaya hidup masyarakat yang sangat cepat
Adanya perubahan kebiasaan masyarakat dari konvensional ke arah ekonomi digital.
2. Bertumbuh pesatnya penduduk usia muda
Saat ini, jumlah penduduk yang berada di usia produktif sudah mencapai lebih dari 190 juta jiwa atau sekitar 70% dari total penduduk Indonesia. Pada penduduk usia muda, budaya digital dan penggunaan internet melekat kepada mereka sehingga digitalisasi perbankan menjadi diperlukan.
3. Kesulitan menjangkau masyarakat yang tinggal di daerah
Banyak daerah yang sulit dijangkau karena terpencil. Daerah-daerah ini masih minim jarak dan akses sehingga masyarakat sulit mendapatkan jasa dan produk keuangan. Digitalisasi menjadi ruang untuk tumbuh agar perbankan dapat mengakses ke daerah dengan teknologi.
Selain perbankan tanah air yang mulai bertransformasi ke arah digital, lembaga keuangan non-perbankan fintech lending pun telah banyak berdiri di Indonesia, seperti P2P Lending, Equity Crowdfunding, dan Supply Chain Financing (SCF) yang memberikan solusi atas berbagai permasalahan pendanaan UMKM. Perusahaan fintech lending menawarkan produk pemberian pinjaman tanpa agunan dengan memanfaatkan big data variabel makro dan mikro untuk lakukan analisis secara digital ke calon peminjam. Selain itu, fintech lending memanfaatkan teknologi digital sehingga proses administrasinya jadi lebih sederhana dan cepat.
Kehadiran fintech lending sebagai penyedia peminjam dana di Indonesia memberikan berbagai dampak positif kepada pelaku UMKM, yaitu:
1. Memberikan alternatif produk pendanaan yang beragam.
Fintech lending bisa menjadi pilihan dan memberikan bantuan kepada UMKM untuk hal pendanaan dan permodalan usaha. Pilihan produk pendanaan dan permodalan untuk UMKM dari fintech lebih sederhana dan beragam seperti contohnya kredit multiguna tanpa agunan atau dengan agunan tertentu.
2. Kemudahan pelayanan finansial.
Fintech lending dapat memberikan kemudahan dalam pelayanan finansial karena proses transaksinya secara digital sehingga mudah, praktis, dan bisa dilakukan di mana saja selama terkoneksi dengan internet.
Kolaborasi Perbankan dan Fintech untuk UMKM di Indonesia
Pada dasarnya, masing-masing lembaga keuangan baik perbankan dan fintech memiliki fungsi dan kelebihannya masing-masing sehingga pelaku UMKM dapat memilih sesuai dengan kondisinya. Bahkan saat ini perbankan dan fintech lending telah berkolaborasi menciptakan produk-produk keuangan untuk memberikan alternatif solusi pendanaan UMKM. Beberapa bentuk kolaborasi antara keduanya, yaitu:
1. Channeling/Kanal
Metode channeling/kanal ini sangat umum dilakukan oleh perbankan dan fintech. Dengan metode ini, kolaborasi dilakukan dengan cara bank menyalurkan kredit melalui fintech. Tujuannya agar kredit dapat semakin banyak dan cepat disalurkan kepada masyarakat.
2. Supplier
Kolaborasi metode supplier dilakukan dengan cara perbankan mengembangkan layanan mirip fintech.
3. Satelit
Metode kolaborasi satelit ini dilakukan dengan cara perbankan membentuk perusahaan modal ventura yang bisa dengan bebas berinvestasi di fintech-fintech yang ada.
4. Merger/Akuisisi
Metode merger/akuisisi ini dilakukan dengan cara merger atau mengakuisisi saham.
Kolaborasi perbankan dan fintech sangat penting untuk memberikan akses keuangan bagi masyarakat unbanked dan underbanked, baik individu, maupun UMKM. Inovasi keduanya diharapkan dapat meningkatkan literasi dan inklusi masyarakat, serta mendorong penetrasi layanan keuangan yang lebih terukur.
Kunjungi artikel kami lainnya untuk memahami tantangan dan hambatan UMKM di Indonesia serta solusi yang dapat dimanfaatkan untuk mencapai pertumbuhan bisnis.