Jangan Berasumsi, Waspadai Bahayanya Self-Diagnosis!
Halo Klobbers!
Kemajuan teknologi dan informasi telah memudahkan kita untuk mencari berbagai informasi yang dibutuhkan melalui internet. Hal ini tentunya membawa peranan positif dan dampak negatif yang perlu kita cermati. Salah satu hal positif yang bisa kita rasakan sekarang ialah kemudahan dalam mencari berbagai informasi tentang suatu tempat, makanan, daerah, dan lain-lain. Namun, di samping itu ada juga dampak negatif yang perlu kita waspadai.
Apakah kamu pernah mengalami kondisi badan yang tidak sehat, kemudian mencoba mencari tahu apa penyakit apa yang kamu derita, dengan hanya mengandalkan informasi melalui internet? Tidak hanya tentang kesehatan fisik, namun juga mencakup kesehatan mental. Misalnya, pernahkah kamu mendengar percakapan seperti, “Kayanya aku bipolar deh. Sering banget mood swing gitu lho”. Saat mengalami beberapa gejala masalah kesehatan, baik fisik dan mental, sayangnya sebagian orang justru mencari tahu sendiri penyebabnya melalui informasi yang tersedia di internet dibandingkan memeriksakan diri ke dokter atau tenaga profesional seperti psikiater dan psikolog. Nah, hal ini dinamakan dengan self-diagnosis.
Sebenernya, Apa Itu Self-Diagnosis?
Dilansir dari halodoc.com, self-diagnosis diartikan sebagai tindakan mendiagnosis diri sendiri mengidap sebuah gangguan atau penyakit berdasarkan pengetahuan diri sendiri atau informasi yang didapatkan secara mandiri. Saat melakukan hal ini, sebenarnya kamu sedang berasumsi seolah-olah mengetahui masalah kesehatan yang dialami. Karena hanya berbekal informasi yang diperoleh atau dimiliki diri sendiri, asumsi tersebut bisa saja salah. Dengan demikian, self-diagnosis bisa membahayakan kesehatan kamu, baik kesehatan fisik dan mental kamu, Klobbers!
Apa Saja Bahayanya Self-Diagnosis?
- Jika salah diagnosis, hal ini bisa berbahaya, karena kamu cenderung akan mengambil pengobatan yang salah. Apabila kamu sembarangan mengonsumsi obat atau menjalani metode pengobatan yang tidak disarankan oleh dokter, maka berisiko mengalami kondisi kesehatan yang lebih parah.
- Salah satu bahaya terbesar self-diagnosis dalam sindrom psikologis ialah mungkin kamu bisa melewatkan penyakit medis yang menyamar sebagai sindrom psikiatris. Misalnya, jika kamu memiliki panic disorder, kamu bisa saja melewatkan diagnosis hipertiroidisme atau detak jantung tidak teratur.
- Self-diagnosis juga bisa berdampak pada kesehatan mental dengan menyebabkan kamu mengalami kekhawatiran yang sebenarnya tidak perlu. Misalnya, kamu sering merasa pusing beberapa hari ini. Kemudian, kamu mencari tahu di internet, apa yang kira-kira menyebabkan gejala pusing terjadi. Saat itu, kamu mendapatkan hasil bahwa gejala sakit kepala bisa mengindikasikan penyakit tumor otak. Setelah itu kamu merasa khawatir dan stres karena menyangka mengidap penyakit serius, padahal kamu belum tentu terkena penyakit tersebut. Akibatnya, kamu bisa saja mengalami gangguan kecemasan umum akibat kekhawatiran berlebihan setelah melakukan self-diagnosis.
- Self-diagnosis bisa membuat masalah kesehatan mental tertentu menjadi tidak terdiagnosis. Biasanya, gangguan mental yang muncul dapat disertai dengan gangguan mental lainnya. Misalnya, kamu berasumsi memiliki gangguan kecemasan. Namun, gangguan kecemasan juga bisa menutupi gangguan depresi mayor dan depresi. Apabila ada dua atau lebih sindrom terjadi bersamaan pada orang yang sama, maka hal ini disebut komorbiditas. Jadi, apabila kamu self-diagnosis, salah satu risikonya ialah bisa melewatkan komorbiditas yang ada.
Demikian beberapa risiko dari self-diagnosis. Apabila kamu mengalami gejala kesehatan tertentu, baik kesehatan fisik dan mental, sebaiknya tanyakan kepada dokter dan tenaga profesional dalam bidang kesehatan mental seperti psikiater/psikolog mengenai gejala yang kamu alami. Hal ini merupakan langkah penting agar kamu dapat mengetahui dengan lebih baik mengenai penyebab dari gejala yang dialami, serta dapat memutuskan pengobatan terbaik untuk kondisi kesehatan kamu.