
Berpacu dalam Wacana; Bagaimana Teknologi Memerangkap Manusia Modern
Ditulis oleh: Muhammad Muslim
(Link artikel asli)
Industri 4.0 (interkoneksi mesin dan sistem) memburu manusia modern untuk berpacu dengan teknologi yang hasilnya berserakan dalam beberapa tahun belakangan. Ditandai dengan semakin masifnya penggunaan alat pembayaran digital, layanan publik berbasis elektronik, sistem informasi karyawan berbasis aplikasi, dan penerapan e-learning. Ragam inovasi dihamburkan untuk tujuan efisiensi dan produktivitas. Dan pada saat yang bersamaan yang kita saksikan justru kesibukan yang semakin menjadi-jadi. Kalaulah dikatakan banyak pekerjaan kantor yang sudah bisa dikerjakan dari rumah, rapat tidak berarti pertemuan fisik, belajar tidak perlu datang ke sekolah, ini semua tampaknya bukan wujud efisiensi. Karena efisiensi adalah ketepatan cara dalam menghasilkan sesuatu, maka inovasi harusnya mengurangi beban manusia atas tata cara yang salah dalam menghasilkan sesuatu. Dengan inovasi (penerapan cara-cara baru dalam berbagai kegiatan manusia) harusnya pekerjaan manusia semakin sederhana, bukan sebaliknya. Pada pengantar ini saya hanya ingin menekankan bahwa cara pandang yang salah dalam melihat inovasi hanya akan melahirkan beban (dalam keadaan tak sadar terjadi eksploitasi).
Kesimpangsiuran industri 4.0 coba dibaca secara seksama oleh Shinzo Abe melalui gagasan industri 5.0 yang ia kemukakan dalam Forum Ekonomi Dunia 2019 di Davos, Swiss. Kendati gagasan tersebut sarat dengan konteks ekonomi, setidaknya Abe berhasil menyirat satu persoalan krusial, yakni gap antara perkembangan teknologi dengan persoalan sosial. Olehnya lubang menganga tersebut coba ditambal dengan wacana industri 5.0 yang bertumpu pada interkoneksi manusia dan mesin. Pesan sederhananya adalah, jangan sampai pacuan teknologi justru menambah panjang deretan persoalan manusia modern. Apa saja persoalan kita hari ini? Sudahkah tepat respons kita terhadap persoalan itu? Dan apakah wacana demikian benar-benar diperlukan?
Mengutip dari World Health Organzation (WHO), pekerjaan yang sehat adalah pekerjaan di mana tekanan pada pekerja seimbang dengan kemampuan dan sumber daya mereka, dengan jumlah kendali yang mereka miliki atas pekerjaan mereka dan dengan dukungan yang mereka terima dari orang-orang sekitar. Karena kesehatan bukan hanya tidak adanya penyakit atau kelemahan, tetapi keadaan positif dari kesejahteraan fisik, mental dan sosial yang lengkap. Beranjak dari pengertian ini, mari kita cermati bagaimana sebetulnya kondisi kesehatan mental manusia modern. Seberapa lengkap dan baik keadaan sosial yang mereka jalani? Dan paling penting, adakah teknologi memengaruhi keduanya?
Pada 2019 WHO mengategorikan kelelahan akibat stres kronis di tempat kerja sebagai sindrom yang dapat didiagnosis. Olehnya kondisi ini telah ditambahkan ke dalam daftar kompilasi penyakit resmi WHO. Di tahun yang sama Savvy Sleeper melakukan riset untuk menentukan kota-kota di dunia dengan tingkat kejenuhan di tempat kerja tertinggi dan terendah dengan 69 kota dari 53 negara menjadi sampel analisis. Hasil riset menunjukkan 20 kota dengan tingkat kejenuhan tertinggi merupakan kota yang menjadi pusat industri atau perniagaan dunia, salah satunya Jakarta yang menempati urutan keenam. Hal ini sejalan dengan laporan Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) yang menyebutkan bahwa globalisasi dan industrialisasi dalam beberapa dekade terakhir telah mendorong stres kerja dan merupakan fenomena besar, kompleks serta terjadi secara merata di seluruh penjuru dunia.
Dalam kaitannya dengan perkembangan teknologi tentu kita sepakat bahwa banyak hal yang dulu mustahil namun dengan sangat mudah dapat dilakukan hari ini. Seperti contoh, rapat secara virtual dan sistem belajar daring yang telah disinggung di awal tulisan. Di saat yang bersamaan sebenarnya terjadi sebuah paradoks. Karena teknologi adalah alat, maka kehadirannya harusnya hanya sebatas mengubah tata cara kita dalam melakukan sesuatu. Namun yang terjadi ternyata menyimpang jauh dari itu. Teknologi berperan dalam mengacau-balaukan pola interaksi kita akhir-akhir ini. Demikian yang saya tangkap dari tulisan teman saya, Kevin. Ia mencontohkan bagaimana meja makan yang tadinya menjadi simbol eksklusivitas komunitas keluarga, telah diterobos sifat eksklusifnya oleh notifikasi pekerjaan di WA. Tak heran apabila 76% pekerja AS mengatakan bahwa stres di tempat kerja memengaruhi hubungan pribadi mereka. Ketika kita sudah ‘selesai di luar’, kita pulang ke rumah dan tak terganggu. Sekarang, tidak ada kata ‘selesai di luar’. Semua yang di luar ikut masuk ke dalam, terutama dalam krisis pandemi Covid-19 ini. Demikian Kevin menjelaskannya di awal pandemi Maret 2020 lalu.
Hal di atas menggambarkan kelatahan kita dalam memahami wacana industri 4.0, 5.0 dan entah industri koma berapa lagi yang dihamparkan pada kita ke depan. Kalau saja sedikit lebih cermat, tidak banyak waktu kita yang terbuang hanya untuk turut terlibat dalam inovasi teknologi yang tidak menyederhanakan pekerjaan apa pun dalam hidup, justru sebaliknya hanya membuat rumit dan melalaikan kita dari banyak hal pokok. Inovasi yang demikian, ditambah dengan kacaunya cara pandang dalam melihat kehadiran teknologi semakin membuat kita payah akhir-akhir ini. Seperti sebuah film yang menceritakan sebuah robot yang justru menjadi musuh bagi penciptanya sendiri, begitu pulalah teknologi memerangkap kita hari ini. Kehadiran teknologi sewajarnya mampu memangkas jam kerja, membuat para pekerja memiliki waktu lebih banyak di rumah, namun kenyataannya tidak. Yang dimaksud dengan efisiensi dan produktivitas sebagai muara teknologi hanyalah penambahan beban kerja yang melampaui kemampuan dan sumber daya pekerja, timpang dengan jumlah kendali yang mereka miliki atas pekerjaan mereka dan dengan dukungan yang mereka terima dari orang-orang sekitar.
Industri 1.0 hingga 5.0 dianggap sebagai sebuah jenjang perkembangan peradaban. Seolah variabel mutlak yang menjadi penentu kemajuan peradaban tiada lain adalah teknologi. Yang tidak melek teknologi dianggap ketinggalan zaman. Kalau begini, bagaimana dengan ratusan ribu hingga jutaan masyarakat Indonesia yang jangankan memiliki akses terhadap teknologi terkini, dialiri listrik dua jam sehari saja sudah syukur. Apa kabar anak-anak pelosok yang tidak bisa mengikuti kelas daring selama pandemi? Bagaimana dengan petani di desa yang masih menggarap lahan dengan alat-alat tradisional yang sederhana? Apakah mereka semua ketinggalan zaman? Teknologi telah gagal menjawab pertanyaan-pertanyaan mendasar seperti ini. Sebetulnya kita tidak berpacu dengan perubahan, kita hanya berpacu dengan wacana. Teknologi bukan hanya tidak mampu menyelesaikan banyak persoalan, tapi turut menciptakan persoalan-persoalan baru. Terkait ini saya akan membahasnya lebih lanjut dalam tulisan selanjutnya.