
Akhlak Digital dan Batas Kemerdekaan Kita
Ditulis oleh: Muhammad Muslim
(Link artikel asli)
Sangat sulit bagi kita untuk bersepakat dalam mendefinisikan dua hal berikut: kebebasan dan kemerdekaan. Meminjam definisi dari Kamus Oxford, kebebasan (freedom) bermakna the power or right to act, speak, or think as one wants.[1]Terjemahan bebasnya kurang lebih adalah kekuatan atau hak untuk bertindak, berbicara, atau berpikir sesuai keinginan. Sementara kemerdekaan berarti bebas dari kendali luar; tidak tunduk pada otoritas orang lain.[2] Dari definisi ini kita dapat menarik setidaknya satu kondisi yang menjadi prasyarat untuk menentukan apakah seseorang bebas atau merdeka, yakni manakala orang tersebut bertindak sesuai keinginan dan atau bebas dari kendali luar. Kalaulah kita bersepakat atas definisi ini, mungkinkah kita bersepakat atas batasan-batasan kebebasan dan kemerdekaan kita sebagai individu? Terlebih ketika dihadapkan pada ruang interaksi sosial dimana terdapat batasan yang mengatur tata kita dalam berucap, bertindak, hingga berpikir. Siapapun bisa mengklaim bahwa ia adalah insan yang bebas dan merdeka. Namun, ketika dihadapkan pada fakta bahwa ia merupakan bagian dari sebuah masyarakat, lembaga, perusahaan atau institusi sosial lainnya, maka terdapat batas yang tak dapat dilampaui.
Mari kita coba formulasikan batasan kebebasan yang dimaksud diatas. Dalam menjelaskan ini saya akan memakai entry point pengeras suara. Misal begini: kita diperkenankan memutar musik sepanjang suara musik yang kita putar di rumah atau di meja kantor tidak mengganggu orang sekeliling kita. Dalam hal ini, tentunya kita harus mampu menyesuaikan atau setidaknya mengira-ngira (adjustment) seberapa keras volume pengeras suara sehingga tidak mengganggu orang lain. Kemampuan adjustment inilah yang kita umpamakan sebagai keypoint dalam menentukan batasan dalam berucap dan bertindak. Pada titik inilah akhlak kita sebagai insan yang beradab diuji.
Namun formulasi diatas tampaknya hanya efektif digunakan apabila penerapannya sebatas pada ruang interaksi yang sempit, yaitu ruang interaksi yang tidak lebih dari dua atau tiga orang dengan pokok bahasan menyangkut hal yang informal, sederhana dan dilakukan dengan cara konvensional. Bagaimana dengan ruang interaksi yang melibatkan sekumpulan orang yang terinstitusionalisasi di dalam sebuah lembaga formal seperti korporasi besar? Dengan topik bahasan yang formal dan didukung oleh teknologi digital? Pertanyaan kunci ini akan saya coba jawab dengan cepat dan singkat dalam tulisan ini.
Digitalisasi yang masif dalam semua aspek kehidupan menuntut kita untuk memiliki satu kompetensi penting, yaitu akhlak digital. Saya mempersempit bahasan pada ruang lingkup pekerjaan. Pada 2019 WHO mengembangkan pedoman diagnosa lebih lanjut terkait potensi dimasukkannya sindrom stres di tempat kerja ke dalam daftar resmi penyakit WHO.[3] Di tahun yang sama penelitian dari Savvy Sleeper menunjukkan bahwa 20 kota dengan tingkat kejenuhan tertinggi merupakan kota yang menjadi pusat industri atau perniagaan, salah satunya Jakarta yang menempati urutan keenam.[4] Hal ini sejalan dengan laporan Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) yang menyebutkan bahwa globalisasi dan industrialisasi dalam beberapa dekade terakhir telah mendorong stres kerja, merupakan fenomena besar, kompleks serta terjadi secara merata di seluruh penjuru dunia.[5]
Dalam kaitannya dengan perkembangan teknologi tentu kita sepakat bahwa banyak hal yang dulu mustahil namun dengan sangat mudah dapat dilakukan hari ini. Seperti contoh, rapat secara virtual yang dapat dilakukan dimana saja. Di saat yang bersamaan sebenarnya terjadi sebuah paradoks. Karena teknologi adalah alat, maka kehadirannya harusnya hanya sebatas mengubah tata cara kita dalam melakukan sesuatu. Namun yang terjadi ternyata menyimpang jauh dari itu. Teknologi berperan dalam mengacau-balaukan pola interaksi kita. Meja makan yang tadinya menjadi simbol eksklusivitas komunitas keluarga, telah diterobos sifat eksklusifnya oleh notifikasi pekerjaan di Whatsapp di luar jam kerja. Ketika seseorang sedang menikmati waktu bersama keluarga di malam hari, disaat yang bersamaan ia menerima telepon menyangkut pekerjaan.
Melalui dua paragraf di atas, saya mencoba mengajak kita semua merenungkan secara seksama batasan-batasan yang harusnya kita patuhi di era digital. Kebebasan dan kemerdekaan kita sebagai individu boleh diartikan sebagai kemampuan menempatkan berbagai macam hal tepat pada tempatnya. Jangan sesekali menaruh urusan pekerjaan kantor pada keranjang waktu keluarga di rumah. Apa arti kehadiran teknologi apabila kita tidak bisa membedakan lagi mana urusan profesional, mana urusan privat? Kapan waktu untuk memikirkan pekerjaan, kapan waktu untuk bersantai. Karena bagi saya, ada hal yang jauh lebih penting ketimbang digital mindset dan digital savvy, yaitu digital morals atau yang saya sebut dengan akhlak digital. Di samping menguatkan kemampuan digital, kita juga harus terus mengasah moral digital.
Referensi:
[1] https://www.lexico.com/definition/freedom
[2] https://www.lexico.com/definition/independent
[3]WHO. (2019). Burn-out an “occupational phenomenon”: International Classification of Diseases. Dalam https://www.who.int/news/item/28-05-2019-burn-out-an-occupational-phenomenon-international-classification-of-diseases, diakses pada 9 Agustus 2021.
[4] Savvy Sleeper. (2019). The Cities with The Highest Burnout. Dalam https://savvysleeper.org/cities-with-highest-burnout/, diakses pada 8 Agustus 2021.
[5] ILO. (2016). WORKPLACE STRESS: A collective challenge. Dalam http://www.ilo.org/wcmsp5/groups/public/—ed_protect/—protrav/—safework/documents/publication/wcms_466547.pdf, diakses pada 9 Agustus 2021.