Blog post

Perempuan dengan Segala Warna Kehidupannya

15/04/2022Kontributor Blog by Klob

Ditulis oleh: Cepi Novia Tristantri

Jika kita membicarakan perihal perempuan dan pekerjaan, masih banyak pandangan skeptis negatif akan dua hal ini. Dimana kita, terlebih lagi pandangan sosial masyarakat yang menempatkan perempuan untuk hanya bisa menjadi wanita karir atau ibu rumah tangga. Hal inilah yang kemudian seolah-olah menjadi dinding-dinding penghimpit mobilitas perempuan yang sebenarnya mampu bergerak tanpa batas.

Peran Ganda

Padahal, perempuan dapat berperan ganda, sebenarnya perempuan mampu untuk multi peran. Entah itu menjadi wanita karir sekaligus istri, menjadi wanita karir sekaligus ibu, hingga menjadi wanita karir serta menjadi seorang istri dan ibu. Pandangan-pandangan ekstrim negatif masyarakat nyatanya berpengaruh besar bagi kemerdekaan perempuan untuk menentukan pilihan, untuk menentukan sikap dan tindakan, bahkan untuk menyuarakan apa yang ingin disuarakan.

Ada beragam stigma negatif yang menyelimuti perempuan ketika disandingkan dengan pekerjaan. Baik itu stigma negatif tentang ‘Kodrat Wanita’ hingga dari pandangan agama ekstrim. Sejatinya, seberapapun waktu yang perempuan habiskan untuk bekerja, ia tetaplah menjadi ibu dan istri sepenuhnya, seutuhnya. Perempuan dianggap menjadi makhluk yang lebih rendah dan lemah, hingga hal demikian, mirisnya juga berdampak pada sektor pekerjaan. Dari upah/gaji yang berbeda, diskriminasi ditempat kerja, perundungan, hingga banyaknya hak-hak perempuan yang dirampas oleh institusi/lembaga penyedia pekerjaan dengan alasan yang tidak rasional. 

Perempuan di Dunia Kerja

Mengutip data yang dihimpun dari Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) pada tahun 2019-2021 menunjukkan data bahwa presentase tenaga kerja kaum perempuan tidak setara dengan kaum laki-laki, bahkan terdapat perbedaan presentase yang cukup mencolok dengan rata-rata perbedaan presentase sebesar 7,6%. Kemudian juga didapat data dari Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2020 didapatkan bahwa perempuan paling banyak bekerja disektor usaha penjualan dengan presentase mencapai 27,55% kemudian diikuti dengan pekerjaan dibidang petanian, perkebunan, dan peternakan, hingga produksi alat angkutan.

Mirisnya, ketiga sektor terkecil yang diduduki perempuan adalah bekerja disektor usaha jasa, pejabat pelaksana, hingga tenaga kepemimpinan yang hanya mencapai 0,65%. Dari data yang telah dipaparkan diatas terlihat jelas adanya ketimpangan peran perempuan dan laki-laki didunia pekerjaan. Laki-laki dianggap lebih kuat dan lebih multiperan dibandingkan dengan perempuan. Juga pada data yang dipublikasi oleh Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2019, menunjukkan bahwa perempuan Indonesia digaji lebih rendah daripada pekerja laki-laki.

Padahal, perlu ditegaskan bahwa perempuan dan laki-laki adalah setara, bahkan hal ini dijamin oleh konstitusi, sebagaimana yang termuat dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) pada Pasal 28D ayat (2) menyatakan bahwa setiap orang berhak untuk berkerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja.

Stigma Perempuan

Hal diatas tentulah sangat miris untuk diketahui bersama. Perempuan selain memiliki hak yang sama, ia juga memiliki kemauan dan kemampuan yang sama dengan laki-laki, hanya saja stigma negatif yang terlanjur terbentuk dari dulu bahkan hingga kini yang banyak membuat wanita ragu bahkan takut untuk memilih. Hingga pada akhirnya yang nampak hanyalah perempuan yang takut, lemah, dan mudah menyerah. Jika ditilik dari berbagai sendi kehidupan lainnya, perempuan menunjukkan eksistensinya sebagai manusia yang kuat. Ia memiliki banyak beban moral yang sosial masyarakat bebankan dipundaknya yang menuntutnya untuk bisa segalanya, untuk sempurna.

Dari stigma untuk menjadi perempuan yang biasa-biasa saja, tidak perlu sekolah tinggi, tidak perlu mengejar karir, hingga larangan untuk mengekspresikan dan mengembangkan dirinya sendiri. Padahal, jika ada hal-hal yang tidak diinginkan terjadi pada perempuan, yang menanggung adalah perempuan itu sendiri. Pada intinya, apapun pola pikiran dan penentuan sikap perempuan selalu menuai cibiran dan kritikan dari berbagai kalangan dan usia. 

Dalam Teori Nurture yang didukung oleh teori konflik dan teori feminisme mengutarakan bahwa perbedaan peran gender antara laki-laki dan perempuan terjadi bukan karena faktor biologis yang kodrati, akan tetapi merupakan hasil dari kontruksi manusia itu sendiri yang bersumber dari sosial-kultural yang berada dilingkungan perempuan. Teori ini mendukung data dan argumentasi yang telah dipaparkan diatas tentang perempuan dan pekerjaan. Teori ini juga sebagai penegas kepada kita semua bahwa pandangan-pandangan negatif terhadap perempuan karir, perempuan sukses, perempuan yang memiliki cita-cita dan ambisi yang selama ini mungkin juga turut kita aminkan, sekali lagi, merupakan konstruksi dari sosial-kultural di masyarakat dengan alasan-alasan yang kurang rasional dan menyebabkan kemunduran peran dan kemampuan perempuan jika terus dibiarkan.

Di luar sana, ada banyak sekali perempuan-perempuan hebat, tangguh, dan kuat yang dengan segala stigma negatif masyarakat tetap dapat terus meraih dan melanjutkan mimpinya tanpa menghindari diri dari kewajiban-kewajibannya yang lain. Seperti, Najwa Shihab, seorang wanita yang hampir seantero Indoensia mengenalnya. Seorang wanita karir, seorang istri, juga seorang ibu yang nyatanya, dapat terus dan tetap berkarir dengan dunia yang ia geluti tanpa meninggalkan tugas dan perannya sebagai seorang istri dan seorang ibu dari seorang anak yang hebat dan cerdas.

Dari seorang Najwa Shihab kita juga dapat belajar bahwa gender, usia, dan faktor negatif lainnya bukan menjadi penghalang perempuan untuk terus bangkit dan berdiri diatas kaki sendiri. Menjadi bukti  juga bahwa perempuan mau dan mampu mengemban berbagai peran. Juga sebagai bukti bahwa perempuan juga dapat menebar manfaat dan inspirasi untuk semua. 

Sehingga dari ini dapat  kita simpulkan bahwa, perempuan berpendidikan dan berkarir bukanlah untuk menyaingi laki-laki, akan tetapi untuk membangun generasi. Pernyataan ‘Di balik laki-laki yang sukses ada perempuan yang hebat’ pun sepertinya juga sudah kurang relevan jika dihadapkan dengan kondisi kehidupan dewasa ini dan perlu adanya perbaikan menjadi ‘Di balik lembaga pendidikan, lembaga kesehatan, lembaga keuangan, institusi pemerintah, hingga suksesnya perusahaan selalu ada perempuan hebat’.

Tugas utama kita sebagai manusia adalah memanusiakan manusia, hal ini dapat diaktualisasikan dengan saling menghargai dan menghormati perbedaan serta menyadari hak dan kewajiban yang sama sebagai manusia yang merupakan makhluk sosial. Khususnya untuk kita pula sebagai sesama wanita, sudah sepatutunya untuk kita saling bergandengan tangan untuk menguatkan, mendukung, dan menjadi garda terdepan untuk memperjuangkan emansipasi wanita, tidak hanya dillingkup pekerjaan, melainkan juga diberbagai lingkup kehidupan, bukan justru saling mencemooh dan menjatuhkan.

Sekian, terimakasih. Semoga apa yang saya tulis dapat berguna dan menjadi pengingat bagi kita semua bahwa perempuan dan laki-laki memiliki hak yang sama, setara tanpa adanya pembeda faktor-faktor lainnya.  

Berikan Komentar

Your email address will not be published.